Selasa, 28 Agustus 2012

Spiritual

Coba simak percakapan saya dan pak Samin berikut ini:
             “Nanti sholat jum’attan dimana, pak” Tanya saya.
              “Ya, tergantung badan, nak. Kalau badan lagi seger, jumatan di masjid barat {masjid orang Muhamdiyah}. Kalau lagi kurang sehat, jumatannya di masjid timur {masjid orang NU}.”
               “Kenapa begitu, pak?”
               “Soalnya di masjid barat kalau kotbah lamaaaaaaaaaaaa betul. Kalau di masjid timur, kotbahnya sebentar saja hahahaaaaa……………”
               “Kamu itu orang Nu apa Muhamadiyah, pak?”
                “Saya netral. Mau ngaku orang NU, ngak bisa ngaji. Mau ngaku orang Muhamdiyah, ngak bisa baca.”
                   “La kalau tak tahu ilmu agama begitu, terus berdo’anya gimana, pak?”
                   “Ya nyebut {mengucap nama Tuhan} sambil pasrah saja. Berdo’a itu bagiku seperti naik mobil dengan Tuhan sebagai sopirnya. Tuhan kan tak pernah tidur, juga maha tahu dan lebih paham jalanan kehidupan, jadi ya pasrah saja mau Beliau bawa kemana bis yang saya tumpangi ini. ”
                  “Wah, tidak bisa begitu, pak. Coba Tanya orang NU atau orang Muhamdiyah, do’a itu ada aturannya, urut-urutannya dan hitungannya.”
                  “Ah, Tuhan saja ngasih rezeki saya ngak pakai hitungan, masak saya harus berdoa pakai hitungan segala. Lagipula Tuhan kan bukan cuma milik orang NU dan Muhamdiyah . Apa menurutmu Tuhan juga cuma tahu bahasa Arab doang?”
                  “Kalau begitu pak Samin namanya cuma Islam KTP.”
                  “Terserah orang mau cap aku apa, yang jelas nanti kalau mati kita tidak akan bawa KTP menghadap Tuhan. Tapi hanya amal ibadahnya yang bisa kita bawa.”
                Dari orang sederhana semacam pak samin itulah akhirnya saya justru lebih banyak belajar masalah spiritual. Spiritual yang tak pernah terjebak dalam logika penalaran yang formal, teknis dan kering. Walau secara pemahaman tekstual sangat terbatas, tapi dibalik keterbatasannya itu justru menyimpan kehangatan dan dan kekayaan rohani yang luar biasa. Belajar spiritual pada orang seperti pak samin juga terasa lebih cair, egaliter, demokratis, banyak canda dan sebenarnya juga sangat cerdas dan kritis; pak samin suka menertawai tingkah-laku agamawan yang berlagak serius dalam kesalehan formal-ritualis. Padahal menurut pak samin, yang harus lebih diseriusi itu masalah kesalehan sosialnya, sementara kesalehan ritualnya bisa dibawa sambil main-main/canda. Kesalehan social, suatu bentuk kesolehan yang tak Cuma ditandai dengan rukuk dan sujud, melainkan juga oleh cucuran keringat dalam praktis hidup keseharian kita. Bekerja juga ibadah!
                      Dari pak Samin itulah akhirnya aku pahami, bahwa spiritual itu sebenarnya indah, manusiawi, penuh warna dan bisa dibawa sambil canda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar