Kamis, 06 September 2012

Spiritual

Suatu hari Seorang Guru berkumpul dengan murid-muridnya. ..
Lalu beliau mengajukan enam pertanyaan.. ..

Pertama…
“Apa yang paling dekat dengan diri kita di dunia ini…???”
Murid-muridnya ada yang menjawab…. “orang tua”, “guru”, “teman”, dan “kerabatnya” ..
Sang Guru menjelaskan semua jawaban itu benar…
Tetapi yang paling dekat dengan kita adalah “kematian”.. ..
Sebab kematian adalah PASTI adanya….Lalu Sang Guru meneruskan pertanyaan kedua…
“Apa yang paling jauh dari diri kita di dunia ini…???”
Murid-muridnya ada yang menjawab… “negara Cina”, “bulan”, “matahari”, dan “bintang-bintang” …
Lalu Sang Guru menjelaskan bahwa semua jawaban yang diberikan adalah benar…
Tapi yang paling benar adalah “masa lalu”…
Siapa pun kita… bagaimana pun kita…dan betapa kayanya kita… tetap kita
TIDAK bisa kembali ke masa lalu…
Sebab itu kita harus menjaga hari ini… dan hari-hari yang akan datang..

Sang Guru meneruskan dengan pertanyaan yang ketiga…
“Apa yang paling besar di dunia ini…???”
Murid-muridnya ada yang menjawab “gunung”, “bumi”, dan “matahari”.. ..
Semua jawaban itu benar kata Sang Guru …
Tapi yang paling besar dari yang ada di dunia ini adalah “nafsu”…
Banyak manusia menjadi celaka karena memperturutkan hawa nafsunya…
Segala cara dihalalkan demi mewujudkan impian nafsu duniawi …
Karena itu, kita harus hati-hati dengan hawa nafsu ini… jangan sampai
nafsu membawa kita ke neraka (atau kesengsaraan dunia dan akhirat)…

Pertanyaan keempat adalah…
“Apa yang paling berat di dunia ini…???”
Di antara muridnya ada yang menjawab… “baja”, “besi”, dan “gajah”…
“Semua jawaban hampir benar…”, kata Sang Guru ..
tapi yang paling berat adalah “memegang amanah”…

Pertanyaan yang kelima adalah… “Apa yang paling ringan di dunia ini…???”
Ada yang menjawab “kapas”, “angin”, “debu”, dan “daun-daunan” …
“Semua itu benar…”, kata Sang Guru…
tapi yang paling ringan di dunia ini adalah “meninggalkan ibadah”…

Lalu pertanyaan keenam adalah…
“Apakah yang paling tajam di dunia ini…???”
Murid-muridnya menjawab dengan serentak… “PEDANG…!! !”
“(hampir) Benar…”, kata Sang Guru
tetapi yang paling tajam adalah “lidah manusia”…
Karena melalui lidah, manusia dengan mudahnya menyakiti hati… dan
melukai perasaan saudaranya sendiri…

Sudahkah kita menjadi insan yang selalu ingat akan KEMATIAN…
senantiasa belajar dari MASA LALU…
dan tidak memperturutkan NAFSU…???
Sudahkah kita mampu MENGEMBAN AMANAH sekecil apapun…
dengan tidak MENINGGALKAN IBADAH….
serta senantiasa MENJAGA LIDAH kita…???

Minggu, 02 September 2012

Spiritual

Palembang 02/09/2012

Minggu(20 : 30)
Pada malam itu seorang teman mengundang untuk makan malam dan kongko2 bersama teman2 lainnya di sebuah fastfood, untuk merayakan  gaji pertamanya (Kapn lagi mumpung Gratisan).Setelah mengucapkan  بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ langsung tancap gas dengan satu2nya motor dirumah. Karena merasa sedikit telambat datang dan beberapa teman sudah menunggu, setelah sampai ke lokasi dengan sedikit terburu2 aku langsung parkirkan motor di bagian paling luar pinggir jalan protokol bawah pohon dan agak gelap.
Aku langsung masuk dan  menghampiri teman2 di salah satu meja, dan kami pun bersendau gurau sambil menikmati makanan yang terhidang. Setelah beberapa puluh menit sendau gurau kami terhenti karena di luar tempat parkir ada sepasang anak manusia yang lagi mencaci seorang bapak separuh baya. Karena makan2nya sudah selesai dan ada rasa penasaran dengan apa yang terjadi di tempat parkir kami pun keluar sambil berencana pulang kerumah masing2. Sambil berjalan menuju pintu aku mencari2 konci motor di saku jaket dan saku celana, karena yang dicari tidak juga ketemu, aku kembali lagi ke meja tempat kami makan2, tapi belum juga di temukan. Aku pun mulai panik dan menerka kalau ini kerjaan temanku yang jahil, setelah aku tanya satu/satu merekapun tidak melihatnya sama sekali.. Setelah sampai diparkiran, seorang teman bertanya kepada seseorang tentang keributan yang terjadi antara sepasang anak manusia dan bapak paruhbaya tsb.

Teman      : Ada apa itu pak,?, rame2..
                   kayak mo berantem..
Seseorang : Itu,  motornyo hilang...
Teman       : Mereka tadi makan disini juga ya pak.?
Seseorang  : Ia,
Teman       : Bapak itu siapa yang sepertinya terpojok.
Seseorang  : Itu yang jaga parkir,.
                    Seharusnya kalau luas seperti ini yang jaga parkir lebih dari satu..

Kepanikanpun semakin menjadi, saat seorang teman yang lain berkata "mungkin koncinya masih  ketinggal di motor" dengan sedikit mengingat tempat aku parkir, sambil jalan dari kejauhan sudah terlihat motornya, akupun langsung menghampiri motor, dan aku temui koncinya masih menggantung pada lobang konci motor tsb. Akupun berucap  اَلْحَمْدُلِلّهِ ..



Selasa, 28 Agustus 2012

Spiritual

Coba simak percakapan saya dan pak Samin berikut ini:
             “Nanti sholat jum’attan dimana, pak” Tanya saya.
              “Ya, tergantung badan, nak. Kalau badan lagi seger, jumatan di masjid barat {masjid orang Muhamdiyah}. Kalau lagi kurang sehat, jumatannya di masjid timur {masjid orang NU}.”
               “Kenapa begitu, pak?”
               “Soalnya di masjid barat kalau kotbah lamaaaaaaaaaaaa betul. Kalau di masjid timur, kotbahnya sebentar saja hahahaaaaa……………”
               “Kamu itu orang Nu apa Muhamadiyah, pak?”
                “Saya netral. Mau ngaku orang NU, ngak bisa ngaji. Mau ngaku orang Muhamdiyah, ngak bisa baca.”
                   “La kalau tak tahu ilmu agama begitu, terus berdo’anya gimana, pak?”
                   “Ya nyebut {mengucap nama Tuhan} sambil pasrah saja. Berdo’a itu bagiku seperti naik mobil dengan Tuhan sebagai sopirnya. Tuhan kan tak pernah tidur, juga maha tahu dan lebih paham jalanan kehidupan, jadi ya pasrah saja mau Beliau bawa kemana bis yang saya tumpangi ini. ”
                  “Wah, tidak bisa begitu, pak. Coba Tanya orang NU atau orang Muhamdiyah, do’a itu ada aturannya, urut-urutannya dan hitungannya.”
                  “Ah, Tuhan saja ngasih rezeki saya ngak pakai hitungan, masak saya harus berdoa pakai hitungan segala. Lagipula Tuhan kan bukan cuma milik orang NU dan Muhamdiyah . Apa menurutmu Tuhan juga cuma tahu bahasa Arab doang?”
                  “Kalau begitu pak Samin namanya cuma Islam KTP.”
                  “Terserah orang mau cap aku apa, yang jelas nanti kalau mati kita tidak akan bawa KTP menghadap Tuhan. Tapi hanya amal ibadahnya yang bisa kita bawa.”
                Dari orang sederhana semacam pak samin itulah akhirnya saya justru lebih banyak belajar masalah spiritual. Spiritual yang tak pernah terjebak dalam logika penalaran yang formal, teknis dan kering. Walau secara pemahaman tekstual sangat terbatas, tapi dibalik keterbatasannya itu justru menyimpan kehangatan dan dan kekayaan rohani yang luar biasa. Belajar spiritual pada orang seperti pak samin juga terasa lebih cair, egaliter, demokratis, banyak canda dan sebenarnya juga sangat cerdas dan kritis; pak samin suka menertawai tingkah-laku agamawan yang berlagak serius dalam kesalehan formal-ritualis. Padahal menurut pak samin, yang harus lebih diseriusi itu masalah kesalehan sosialnya, sementara kesalehan ritualnya bisa dibawa sambil main-main/canda. Kesalehan social, suatu bentuk kesolehan yang tak Cuma ditandai dengan rukuk dan sujud, melainkan juga oleh cucuran keringat dalam praktis hidup keseharian kita. Bekerja juga ibadah!
                      Dari pak Samin itulah akhirnya aku pahami, bahwa spiritual itu sebenarnya indah, manusiawi, penuh warna dan bisa dibawa sambil canda.

Spiritual

aku: mangga,bagaimana caramu berspiritual?

mangga:selama rasaku pahit dan masam aku tetap tinggal di pohon, jika rasaku telah manis maka aku akan menjatuhkan diri ke tanah di mana aku dibesarkan, agar orang2 mudah memungutku dan menikmati manfaat dariku.

aku: di dimensi mana puncak spiritualmu?

mangga: di sini,di tanah tempat aku tumbuh entah dipungut ataupun tidak.

aku:bagaimana jika kau dibiarkan dan membusuk?

mangga:jika generasi saat ini tak mengambil manfaat dariku maka aku akan tumbuh dan menghasilkan banyak buah yang sama untuk waktu dan generasi selanjutnya.